Jumat, 30 Juli 2021

Barisan Mahasiswa dan Pemuda Pacitan Lakukan Audiensi Terkait Kebijakan PPKM.

Mahasiswa dan Pemuda yang tergabung dalam Organisasi Petupa, HMI, GMNI, IMM, PMII dan ALMAPA geruduk Pendopo Kabupaten Pacitan pada Jumat 30 Juli 2021. Audiensi yang dihadiri oleh Bupati Pacitan, Sekertaris Daerah, Kepala Dinsos, Kepala RSUD dr Darsono dan PLT Dinkes tersebut membahas kebijakan PPKM dan masalah-masalah penanganan pandemi lainya. 

Audiensi tersebut dilatarbelakangi kajian dan konsolidasi yang berhasil mengumpulkan beberapa masalah-masalah yang belakangan ini terjadi saat kebijakan PPKM dan penanganan sebaran Virus COVID-19. 
Dalam kesempatan audiensi mereka menyampaikan pernyataan sikap dan beberapa keresahanya terkait hal tersebut. 

"Maksud dan tujuan kami datang kesini bukanlah ingin menolak pemberlakuan PPKM. Namun tidak lain dan tidak bukan adalah ingin mengetahui evaluasi dari kebijakan PPKM yang selama ini dijadikan solusi dalam penanganan COVID 19".  Ungkap Tonis, salah satu mahasiswa gabung dari GMNI. 

Adapun point-point yang di suarakan dalam Audiensi tersebut diantaranya adalah evaluasi gugus tugas, transparansi dana terkait penanganan COVID-19 dan kehadiran pemerintah dalam menjamin kehidupan sosial saat PPKM. 

"Di satu sisi terdapat masalah komunikasi yang selama ini terjadi dalam penanganan pandemi. Keterbukaan informasi dan penyebarluasan edukasi terkait COVID-19 dari Pemerintah sendiri sangat kurang bahkan hampir kami tidak mengetahuinya. Hal itu dapat mengikis kepercayaan masyarakat  kepada otoritas kesehatan dan pemerintah. Jika memang Pemerintah terdapat kendala dalam penyebarluasan informasi serta edukasi, biar kami saja yang berusaha untuk menyebarkannya". Tambah  Irvan Bayu, ketua Petupa. 

Audiensi yang berjalan dari pukul 10.00 tersebut harus terpaksa dihentikan di tengah jalan. Hal tersebut karena keterbatasan waktu terkait dengan ibadah sholat jum'at. Audiensi lanjutan rencananya akan dilaksanakan pada hari Senin, 2 Agustus 2021.

Rabu, 28 Juli 2021

Semburan Infodemi di Tengah Covid 19 dan Kecacatan Teori Konspirasi.

Lonjakan kasus Covid 19 membuka mata kita dalam melihat kekacauan  penanganan kita.  Dalam hal ini, sektor media informasi memegang peran vital yang setara dengan otoritas kesehatan. Tugas media informasi tidak hanya menyebarkan pengetahuan namun juga memandu tentang apa yang harus kita lakukan dan tidak boleh dilakukan di situasi saat ini. Seiringan dengan itu, media digital dengan kecepatan dan kemudahan aksesnya menjadi primdona masyarakat dalam mencari informasi. 

Akan tetapi, media digital menyimpan seumbrek masalahnya saat kondisi belakangan ini. Infodemi merupakan masalah yang menjadi penyakit serius dalam media digital saat ini. WHO mendefinisikan bahwa Infodemi adalah terlalu banyak informasi, termasuk informasi palsu atau menyesatkan selama wabah penyakit. Tedros Adhnom, direktur jendral WHO mengatakan _“Kita tidak hanya melawan pandemi, namun juga melawan infodemi.”_ Pada tanggal 29 Juni, WHO secara resmi memulai pembicaraan tentang efek global dan pengelolaan infodemi dengan Konferensi Infodemiologi ke-1 yang mengumpulkan para ahli internasional dari berbagai latar belakang ilmiah dan politik.  (WHO, 2020). 

Di era keterbukaan Infromasi saat ini, Infodemi membuat keletihan dalam mengelola informasi yang pada giliranya orang-orang akan percaya informasi secara mentah-mentah. Persebaran informasi ibarat banjir bandang yang dapat melululantahkan tanggul-tanggul berpikir kritis. Banjir bandang tersebut beriringan dengan sampah dan rongsokan disinformasi/misinformasi yang di bawanya. Disinformasi adalah informasi palsu yang disengaja sedangkan misinformasi ialah infromasi yang salah/tidak akurat.

Dampak yang diakibatkan oleh infodemi cukup signfikan terhadap penanganan pandemi. Hal tersebut karena dis/misinformasi dapat membuat masyakat kebingungan dan pengambilan sikap serta berakibat pada perilaku dan keputusan yang salah. Sehingga itu akan berpengaruh terhadap lamanya wabah berkahir. Launa dalam penelitianya menyimpulkan jika fenomena banjir infodemi tidak ditangani secara serius oleh pihak pemilik otoritas, potensial memicu ketidakpercayaan publik terhadap tanggung jawab institusi global dan otoritas negara, memantik sikap apatis publik dalam mengantisipasi dan menangani bahaya wabah secara kolektif. (Luna, 2020)
 Salah satu rongsokan dan sampah Infodemi yang belakangan ini memenuhi laman media adalah beredarnya teori konspirasi.  Bale mendefinisikan bahwa teori konspirasi adalah keyakinan bahwa sekelompok aktor bertemu dalam kesepakatan rahasia dengan tujuan mencapai beberapa tujuan jahat (Jan-Willem van Prooijen, 2018).  

Isu teori konspirasi mengalami lonjakan seiringan dengan berlangsungnya Pandemi.  Isu ini berkembang dengan desas-desus yang berbeda, diantaranya seperti Virus Corona merupakan rekayasa Bill Gates, virus corona adalah senjata biologis China, sinyal 5G sebagai perantara virus, pandemi merupakan akal-akalan elite global dll.  Bisa dikatakan Pandemi Covid 19 telah menjadikan ladang beternak bagi perkembang biakan teori konspirasi dan para peternaknya. 

Teori konspirasi ibarat seperti makanan basi yang di kerumuni lalat. Berbagai wacana konspirasi Covid 19 di endors oleh publik figur seperti artis, pesulap, motivator dan bahkan koruptor. Dengan berbekal retorika dan logika anti-mainstream, mereka mudah mendapatkan pengikut. Hasil Survei yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan masih ada banyak misinformasi yang membuat banyak orang tak percaya terhadap COVID-19. “Sebanyak 18,5 persen plus 2,7 persen setuju sama pernyataan itu COVID-19 mungkin hanya hoaks. Jadi 20 an persen atau seperlima penduduk kita menganggap COVID-19 itu hoaks," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin

Jika kita mengamati berbagai argumen dari para advokat teori konspirasi, kita akan  menemukan berabagai kecaatan berpikir (logical fallacy) yang terkesan logis namun menipu dan menyesatkan. Salah satunya adalah confirmation bias. Kecacatan berpikir ini merupakan keinginan untuk membenarkan hal-hal yang hanya ingin kita percayai. Cara berpikir semacam ini membawa kita untuk hanya mencari informasi dan bukti yang sesuai dengan asumsi yang pada dasarnya kita percayai namun cenderung menafikan dan menyangkal bukti dan informasi yang bersebrangan dengan kepercayaan dan hal-hal yang tidak kita sukai.

Confirmation bias lumrah terjadi dalam penalaran kehidupan kita sehari-hari. Hal ini berdasarkan pada sifat alamiah manusia yang cenderung mencari informasi, asumsi dan bukti berdasarkan hal-hal yang disukai. Hal itu diakibatkan karena kebenaran-kebenaran yang kita sukai merupakan area yang membuat perasaan kita nyaman. Sehingga kenyamanan tersebut  menjadi tembok yang memenjarakan pikiran-pikiran objektif. Hal ini merupakan kontras dengan cara berpikir ilmiah yang melihat sesuatu secara objektif. 

Di satu sisi, teori konspirasi merupakan hasil dari kenaifan seseorang dalam memahami situasi yang tidak pasti. Di dorong dengan kecemasan dan kepanikan saat pandemi, orang-orang cenderung mencari jawaban dengan jalan pintas. Sehingga teori konspirasi dengan penjelasanya yang pasti menjadi jalan keluar dari kebuntuan situasi. Dengan membuat musuh proyeksi dan rencana jahatnya yang rahasia, teori konspirasi begitu memuaskan untuk menjelaskan keadaan acak dan tak menentu. 

Bagi yang sudah tenggelam dengan kebiasaaan malas berpikir, tentunya tidak mudah untuk memahami bagaimana kecatatan dari teori konspirasi. Namun cukup dengan menyediakan ruang kesabaran dalam pikiran dan tidak terburu menyimpulkan adalah cara sederhana untuk melihat kecacatan dalam teori konspirasi. Jebolnya tanggul berpikir akibat banjir informasi dan menjamurnya teori konspirasi telah melanjangi kebodohan yang sebelumnya mengakar.


DAFTAR PUSTAKA

1. Jan-Willem van Prooijen, M. v. (2018). Conspiracy Theories: Evolved Functions and Psychological Mechanism. Perspectives on Psychological Science , 771-786. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1745691618774270

2. Launa, Launa. (2020) Banjir Infodemi : Viralitas Akurasi Berita Virology Dalam Fenomena Coronavirus Desease, 1-33. Diakses dari http://jurnal.usahid.ac.id/index.php/ilmu_komunikasi/article/view/305

3. Syamsudi , Irwan  (2021 Februari).  Survei Indikator: 21,2% Percaya COVID-19 Hoaks, 41% Enggan Divaksin. Diakses dari https://tirto.id/survei-indikator-212-percaya-covid-19-hoaks-41-enggan-divaksin-gat3

4. WHO. Infodemi. Diakses dari https://www.who.int/health-topics/infodemic

Penulis : Divisi Kajian dan Strategis

Sinergitas Sebagai Upaya Pelestarian Budaya

Harapan kami mulai tercerahkan dengan tersebarnya pamflet yang mengusung tema "Ngobrol Bareng Mas Bupati dengan Pelaku Seni...