Kamis, 29 April 2021

Pagelaran Peringati Hari Tari Dunia 2021

Kamis, 29 April 2021 - Pemuda untuk Pacitan (PETUPA) bersama dengan Reog Sido Rukun Bangunsari dan Kethek Ogleng Pacitan turut memeriahkan peringatan Hari Tari unia 2021. Pagelaran ini diadakan di pasar minulyo. Animo masyarakat yang haus hiburan pun turut meramaikan. Pada awal acara, penonton langsung disuguhkan dengan kemeriahan flashmob dari para penari yang melingkari Kethek Ogleng.

Tarian Kethek Ogleng yang telah dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda milik Pacitan pada tahun 2019 menjadi pembuka pagelaran malam ini. Gerakan yang atraktif dan lincah ini menjadi ciri khas dari tarian Kethek Ogleng Pacitan ini. Keusilan dari salah satu penari Kethek Ogleng seperti menggoda para penonton menjadikan penampilannya sangat menghibur. 

Gerakan sang pembarong pun tak luput dari perhatian para penonton yang terkesima dengan gerakannya. Reog yang sempat diklaim oleh Malaysia ini selalu menyajikan tampilan yang sungguh luar biasa. Atraksi dari bujang ganong sangat menarik perhatian. Salto satu, dua, hingga tiga kali membuat para penonton berdecak kagum. Adapun pembarong dari Ponorogo dan Baturetno yang turut memeriahkan acara pada malam ini. 

Penampilan yang semarak ini diharapkan mampu mengenalkan budaya-budaya Indonesia khususnya budaya lokal kepada masyarakat terutama para pemuda. Budaya adalah jati diri dan tonggak bangsa. Jadi, mari kita lestarikan bersama-sama. 

Selamat Hari Tari Dunia

Salam Pemuda Perubahan!!! 

Penulis : Adika Bayu
Penyunting : Irvan Bayu

Kamis, 22 April 2021

Gelar Nobar dan Diskusi Dalam Memperingati Hari Bumi dan Hari Kartini 2021

Untuk memperingati Hari Bumi dan Hari Kartini, pada tanggal 22 April 2021 organisasi PETUPA bersama komunitas Trash Hero, Makna Kisah, dan Sinepace.

Film dokumenter yang berjudul "Tanah Ibu Kami" karya The Gecko Project dan Mongabay dipilih untuk diputar di kegiatan memperingati Hari Bumi dan Hari Kartini. Film ini menceritakan perjuangan kaum perempuan dalam mempertahankan lingkungan. Seperti halnya di Desa Kendeng, Rembang, kaum perempuan bersinergi untuk melawan pabrik semen yang diduga dapat mengancam kelestarian alam. Hal ini membuktikan bahwa kaum perempuan juga memiliki hak untuk menyuarakan dan memperjuangkan lingkungan. Perjuangan Kartini seakan-akan mengalir dari generasi ke generasi.

Kemudian pada diskusi yang berjalan pun juga membahas bagaimana keterkaitan perempuan dan lingkungan untuk diperjuangkan dengan seimbang dan selaras.

"Permasalahan tentang sampah bisa kita taklukkan dengan Zerowaste Lifestyle yang dimulai dari diri kita sendiri", ucap Genta Ketua Trash Hero Pacitan.

Ibu Bumi memberi, Ibu Bumi disakiti, dan Ibu Bumi menghakimi. Sekali lagi kita harus berefleksi pada diri kita sendiri "Sudah bijakkah kita dalam merawat Bumi? ".

Salam Pemuda Perubahan!!! 

Rabu, 21 April 2021

Merumuskan Ulang "Save Earth" dan Berbagai Masalahnya.

Hari bumi identik dengan jargon "save the earth" yang lumrah digemakan dalam berbagai media dan acara. Jargon tersebut seolah-olah mengartikan bahwa bumi sedang mengalami kerusakan dan masa depan bumi hanya berada di tangan kita. Kebanyakan orang sepakat bahwa krisis lingkungan adalah ancaman kepada bumi. Pandangan yang telah diterima sebagai kemapanan tersebut mampu menjadi modal sosial dalam menanggapi berbagai isu lingkungan. 

Namun di balik trend sosial tersebut perlu kiranya kita memahami ulang apa sebenarnya itu "save the earth" dan berbagai hal yang permasalahan di seputarnya agar kita tidak dangkal hanya memahami slogan dan hingga salah paham tentang konsepnya. 
Pertanyaan kritis yang perlu dibahas adalah "Mengapa bumi perlu diselamatkan? Apakah kita benar-benar murni peduli kepada bumi ?".

Bila kita memahami secara serius. Ternyata bumi bukanlah makhluk hidup yang butuh predikat selamat atau tidak selamat. Bahkan jika bumi tanpa oksigen dan air pun tidak masalah baginya. Perlu diketahui bumi telah ada sekitar 4 miliar tahun lalu dengan berjuta organisme hidup yang bergantian menghuni planet ini. Adapun hal yang jarang kita sadari bahwa manusia pernah tidak ada di bumi dan bumi adalah apa adanya bumi dengan berbagai fenomena alam di dalamnya. Pergeseran lempeng tektonik, zaman es, perubahan iklim dan berbagai gajala alam yang dianggap manusia sebagai bencana. 
Sedangkan manusia itu sendiri baru menampakan diri di bumi pada 2 juta tahun yang lalu. Bisa dikatakan manusia seperti bocah kemarin yang berlagak sok-sokan ingin menyelamatkan bumi yang sebenarnya tidak punya masalah apapun. Perjuangan menyelamatkan bumi seperti usaha manaburi garam pada air laut supaya asin. 


Konsep bumi rusak, alam asri, lingkungan indah, dan lain-lain tidak lain adalah sudut pandang kita yang penuh dengan bias kepentingan untuk bertahan hidup. Sama seperti kita melihat banjir sebagai bencana alam karena hal itu merugikan manusia. Coba saja jika banjir itu terjadi di tempat yang jauh dari hunian manusia. Niscaya hal tersebut tidak disebut bencana alam. Dengan demikian sesuatu hal disebut bencana karena mengancam kehidupan manusia. Dengan cara berpikir sederhana sebenarnya upaya untuk menyelamatkan bumi adalah perjuangan manusia agar membuat bumi ramah terhadap manusia dan alam berjalan seiringan dengan kepentingan manusia. Bukan untuk bumi itu sendiri. 

Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan kedua, kita juga harus cermat untuk mengakui bahwa kita sebagai organisme adalah makhluk egois. Bahkan keegoisan kita sering kali menjadi motif dalam argumen yang sering muncul sebagai motif kepedulian lingkungan. Seperti misal ucapan yang sering dijumpai : "Kita harus menyelamatkan lingkungan dari krisis sampah plastik karena anak cucu kita harus menikmati bumi seperti apa yang kita nikmati" atau "kita harus mencegah krisis iklim karena ini bencana ekologis yang dapat membawa kita kepada kepunahan masal". Motif semacam ini hanya berdasarkan keuntungan bagi manusia dan kepentingan yang menyertainya. Motif ini begitu jauh dari kepedulian terhadap bumi. Orang-orang yang beralasan seperti itu lebih tepat diberi predikat sebagai pejuang kemanusiaan bukan aktivis lingkungan. Kenapa sangat jarang yang berasalan "Kita harus peduli kepada lingkungan karena kepedulian itu sendiri!".

Tanpa kita sadari kita tidak bisa peduli kepada bumi karena memang biologi nature manusia sebagai organisme adalah makhluk yang egois. Dalam Istilah filosofis disebut "Antroposentris" yang berarti segalanya berpusat kepada manusia. Manusia selama ini memandang bahwa dia makhluk khusus, istimewa dan superior sehingga menempatkan makhluk lainnya di bawah dan alam hanya sebagai pelayan kepentingannya. Kedua yang menjadi alasan kita tidak bisa peduli atau menyelamatkan bumi adalah karena bumi tidak butuh kita alias bumi bukan makhluk hidup yang dapat terancam keberlangsungan. Tanpa adanya manusia pun bumi tidak masalah


Jadi, sebenarnya yang kita perjuangankan dalam berbagai embel-embel peduli lingkungan bukanlah untuk kepentingan bumi melainkan diri kita itu sendiri. Obsesi manusia untuk peduli terhadap alam atau bumi hanyalah gairah manusia untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan di bumi. Akhir-akhir ini manusia semakin dewasa berpikir dan memahami bahwa dia bukanlah makhluk yang terpisah dari ekosistem. Manusia, alam  dan binatang lainnya adalah kesatuan integral dalam entitas kehidupan. Maka dari itu, jika manusia melakukan perbuatan kerusakan kepada ekosistemnya sama dengan ia membunuh tubuhnya dengan cara perlahan.


Penulis : Yusuf Mukib
Penyunting : Irvan Bayu

Selasa, 20 April 2021

Refleksi Hari Kartini "Perempuan Harus Fokus Membekali Diri"

Meski tidak pernah mengangkat senjata dalam melawan Belanda, namun Kartini tetap menjadi sosok pahlawan bagi Indonesia. Melalui pemikirannya, beliau mampu mengangkat derajat perempuan setara dengan kaum laki-laki. Pemikirannya tentang kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan turut mempengaruhi embrio bangsa Indonesia. 

Perjuangan Raden Ajeng Kartini untuk meraih hak-hak perempuan menjadi pemantik semangat bagi banyak perempuan Indonesia. Kartini tidak hanya berjuang melawan kolonial Belanda, namun ia juga berjuang melawan adat istiadat bangsanya yang banyak merugikan kaum perempuan.

Kegelisahan dan juga protes atas ketidakadilan, banyak ia tuliskan dalam surat-suratnya. Dalam salah satu suratnya yang terangkum dalam buku , Kartini menyebutkan “Kami sebagai perempuan Jawa hanya boleh mempunyai satu cita-cita, mengimpikan satu impian, yaitu suatu hari kami akan dikawinkan sesuai dengan pilihan orang tua”. Surat tersebut ditulisnya sebagai bentuk ungkapan kekecewaan atas tradisi yang sangat membelenggu perempuan pada masa itu. Kalimat dalam surat tersebut jelas sekali bahwa Kartini menentang tradisi.

Jika menilik sejarah perjuangan Kartini yang luar biasa, sangat disayangkan jika saat ini masih ada perempuan yang memaknai perjuangan Kartini secara sempit. Barangkali kita perlu merumuskan ulang esensi dari 'emansipasi wanita', perjuangan emansipasi Kartini seolah diterjemahkan sebagai perjuangan melawan laki-laki. Pandangan tersebut barangkali tidak sepenuhnya salah. Sebab, realitanya banyak persoalan yang dihadapi perempuan akibat adanya budaya atau hegemoni patriarki. Anggapan bahwa emansipasi adalah upaya melawan harus diikuti langkah konkrit atau langkah yang nyata agar perempuan bisa sejajar dan mampu bersaing dengan laki-laki.

Akan tetapi, esensi dari 'emansipasi' sebenarnya lebih kepada usaha perempuan untuk membuktikan bahwa ia juga berdaya dan mampu melakukan hal yang lebih dari batasan-batasan yang mungkin merupakan hasil dari konstruksi sosial. Perempuan harus bisa mendapatkan peluang yang sama dalam berbagai profesi atau hak yang masih didominasi oleh laki-laki.

Persoalannya adalah ketika perempuan menuding laki-laki sebagai tokoh utama pelaku diskriminasi, perempuan justru terperangkap pada sebuah emosi. Perempuan lupa pada persoalan yang lebih mendasar yaitu membekali diri dan memberdayakan diri agar bisa mendapatkan peluang dan hak yang sejajar dengan mereka. Perempuan kerap lupa bahwa ada cara yang lebih elegan, bukan sekedar berkutat pada beberapa pemikiran laki-laki yang berusaha memarginalkan perempuan. 

Fokus pada penyiapan kemampuan baik dari sisi pengetahuan, keahlian maupun pengalaman, jauh lebih bermanfaat. Dengan bekal kemampuan tersebut, perempuan akan lebih memiliki kesempatan untuk melawan hegemoni patriarki dan bisa mendapatkan hak -hak yang seharusnya didapatkannya. Berjuang itu ibarat pertempuran, bagaimana kita akan menang melawan musuh dan mendapatkan apa yang kita inginkan jika kita tidak ada persiapan dan tidak membekali diri.

Penulis : Dela Pras
Penyunting : Irvan Bayu

Jumat, 16 April 2021

Nobar dan Diskusi Film "Kinipan"

16 April 2021, Pemuda untuk Pacitan (PETUPA) menyelenggarakan agenda nonton bareng film Kinipan di Kuliner Pasar Minulyo. Kinipan adalah film dokumenter tentang Pandemi, Omnibus Law, Food Estate, dan Restorasi Lingkungan. Agenda ini dihadiri secara terbuka oleh Pemuda dan pengunjung Kuliner Pasar Minulyo. 

Dalam pembahasan di film Kinipan ini menggagas bagaimana program-program pemerintah yang tidak efektif dilakukan bahkan diklaim gagal. Seperti pembukaan lahan di Kalimantan, yang banyak ditentang oleh masyarakat adat setempat karena dianggap dapat meningkatkan emisi dan merugikan masyarakat itu sendiri.

Film berdurasi 2,5 jam ini menjadi sebuah perenungan bagi masyarakat Pacitan tentang bagaimana mempertahankan hutan, fauna, serta mencegah emisi dari perusahaan-perusahaan yang ngawur dalam melakukan programnya. Sebab kesenjangan ini benar-benar terjadi di belahan Indonesia. 

Sementara di Pacitan, bencana serupa sering terjadi seperti kekeringan dan banjir.

"Masyarakat terlalu dimanjakan, karena hasil Penelusuran lewat acara Laku Utomo sebenarnya banyak sekali sumber air. Apakah masyarakat saja yang malas? Ada 2 kemungkinan, masyarakat itu sudah malas atau dimanjakan." Ujar Cubo seorang pemerhati lingkungan. 

Hal ini membuktikan bahwa Pacitan juga terkendala dalam memperhatikan lingkungannya walaupun dengan kasus kesenjangan yang berbeda seperti yang terjadi di Kalimantan atau di provinsi-provinsi lain.

Sinergitas Sebagai Upaya Pelestarian Budaya

Harapan kami mulai tercerahkan dengan tersebarnya pamflet yang mengusung tema "Ngobrol Bareng Mas Bupati dengan Pelaku Seni...