Selasa, 20 April 2021

Refleksi Hari Kartini "Perempuan Harus Fokus Membekali Diri"

Meski tidak pernah mengangkat senjata dalam melawan Belanda, namun Kartini tetap menjadi sosok pahlawan bagi Indonesia. Melalui pemikirannya, beliau mampu mengangkat derajat perempuan setara dengan kaum laki-laki. Pemikirannya tentang kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan turut mempengaruhi embrio bangsa Indonesia. 

Perjuangan Raden Ajeng Kartini untuk meraih hak-hak perempuan menjadi pemantik semangat bagi banyak perempuan Indonesia. Kartini tidak hanya berjuang melawan kolonial Belanda, namun ia juga berjuang melawan adat istiadat bangsanya yang banyak merugikan kaum perempuan.

Kegelisahan dan juga protes atas ketidakadilan, banyak ia tuliskan dalam surat-suratnya. Dalam salah satu suratnya yang terangkum dalam buku , Kartini menyebutkan “Kami sebagai perempuan Jawa hanya boleh mempunyai satu cita-cita, mengimpikan satu impian, yaitu suatu hari kami akan dikawinkan sesuai dengan pilihan orang tua”. Surat tersebut ditulisnya sebagai bentuk ungkapan kekecewaan atas tradisi yang sangat membelenggu perempuan pada masa itu. Kalimat dalam surat tersebut jelas sekali bahwa Kartini menentang tradisi.

Jika menilik sejarah perjuangan Kartini yang luar biasa, sangat disayangkan jika saat ini masih ada perempuan yang memaknai perjuangan Kartini secara sempit. Barangkali kita perlu merumuskan ulang esensi dari 'emansipasi wanita', perjuangan emansipasi Kartini seolah diterjemahkan sebagai perjuangan melawan laki-laki. Pandangan tersebut barangkali tidak sepenuhnya salah. Sebab, realitanya banyak persoalan yang dihadapi perempuan akibat adanya budaya atau hegemoni patriarki. Anggapan bahwa emansipasi adalah upaya melawan harus diikuti langkah konkrit atau langkah yang nyata agar perempuan bisa sejajar dan mampu bersaing dengan laki-laki.

Akan tetapi, esensi dari 'emansipasi' sebenarnya lebih kepada usaha perempuan untuk membuktikan bahwa ia juga berdaya dan mampu melakukan hal yang lebih dari batasan-batasan yang mungkin merupakan hasil dari konstruksi sosial. Perempuan harus bisa mendapatkan peluang yang sama dalam berbagai profesi atau hak yang masih didominasi oleh laki-laki.

Persoalannya adalah ketika perempuan menuding laki-laki sebagai tokoh utama pelaku diskriminasi, perempuan justru terperangkap pada sebuah emosi. Perempuan lupa pada persoalan yang lebih mendasar yaitu membekali diri dan memberdayakan diri agar bisa mendapatkan peluang dan hak yang sejajar dengan mereka. Perempuan kerap lupa bahwa ada cara yang lebih elegan, bukan sekedar berkutat pada beberapa pemikiran laki-laki yang berusaha memarginalkan perempuan. 

Fokus pada penyiapan kemampuan baik dari sisi pengetahuan, keahlian maupun pengalaman, jauh lebih bermanfaat. Dengan bekal kemampuan tersebut, perempuan akan lebih memiliki kesempatan untuk melawan hegemoni patriarki dan bisa mendapatkan hak -hak yang seharusnya didapatkannya. Berjuang itu ibarat pertempuran, bagaimana kita akan menang melawan musuh dan mendapatkan apa yang kita inginkan jika kita tidak ada persiapan dan tidak membekali diri.

Penulis : Dela Pras
Penyunting : Irvan Bayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sinergitas Sebagai Upaya Pelestarian Budaya

Harapan kami mulai tercerahkan dengan tersebarnya pamflet yang mengusung tema "Ngobrol Bareng Mas Bupati dengan Pelaku Seni...