Sabtu, 28 Agustus 2021

Sinergitas Sebagai Upaya Pelestarian Budaya

Harapan kami mulai tercerahkan dengan tersebarnya pamflet yang mengusung tema "Ngobrol Bareng Mas Bupati dengan Pelaku Seni Budaya". Di publikasikan secara live, melalui jejaring sosial akun YouTube PEMKAB Pacitan, tampilan-tampilan seni budaya ciri khas Pacitan berupa tari-tarian, wayang, ketek ogleng dll akan tersaji secara menarik dan menggugah rasa cinta akan budaya asli kota kelahiran.

Ditutup dengan obrolan berbobot dari mas Bupati dengan pelaku seni budaya, berisi sosialisasi, apresiasi, kesejahteraan, serta eksistensi budaya lokal, yang semakin lama semakin terkikis oleh budaya dari barat. Tidak kalah penting, pemberian penghargaan secara simbolis oleh mas Bupati terhadap pelaku (penanggung jawab) atas prestasi baru sebagai WBTB (Warisan Budaya Tidak Benda) dibarengi dengan harapan besar dari mas Bupati untuk tetap menjaga serta melestarikan budaya yang ada di Pacitan, baik yang telah tercatat maupun yang belum.

Pada nyatanya, tidak ada obrolan bareng Pak Bupati dalam acara tersebut. Hanya prosesi penyerahan bantuan pada Seniman Pacitan dengan tampilan Electone dari Sampan. Hal ini tentunya berbeda dengan apa yang telah dicantumkan dalam pamflet. Sedikit mengecewakan bagi yang menantikan obrolan ini karena ada beberapa harapan-harapan yang mungkin ingin didengar dari obrolan tersebut. 

Walaupun tidak ada obrolan bersama Bapak Bupati, tapi semoga ini menjadi awal perhatian pemerintah terhadap para seniman Pacitan. Terlebih khusus perhatian terhadap seni budaya yang sudah mendapatkan penghargaan agar tidak hanya sekedar seremonial saja. Karena, budaya menjadi tonggak bangsa sehingga para generasi muda mampu mengenali budaya Indonesia terutama budaya Pacitan sendiri. 

Dalam pelestarian budaya tentunya tidak hanya peran dari pemerintah saja. Namun, para ahli sudah menemukan teori yang bernama "pentahelix". Di dalam teori ini menyebutkan ada beberapa agen yang harus berperan dalam pelestarian budaya, yaitu pemerintah, organisasi, sosial media, industri, dan akademisi. Kelima agen ini memiliki perannya masing-masing yang tentunya harus saling bersinergi. 

Sinergi inilah yang selalu diharapkan agar terjadi perubahan yang pasti. Segala usaha dan upaya harus selalu kita lakukan dalam pelestarian budaya. Dinamika yang terjadi semoga menjadi hal-hal yang seharusnya diperbaiki dan selalu memotivasi kita. Sekali lagi, Budaya adalah tonggak bangsa. Harapan-harapan selalu kita panjatkan dan selalu kita upayakan dalam melestarikannya. 

Selasa, 17 Agustus 2021

Kemerdekaan Indonesia: Perspektif Historis Versi Belanda

Hampir seluruh masyarakat Indonesia tentunya mengamini bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari kemerdekaan Indonesia. Guru-guru sejarah di sekolah mengajarkan hal demikian, pengetahuan sejarah akan hal itu sudah dipakemkan dan sangat langka sekali peringatan hari kemerdekaan diselenggarakan bukan atas dasar pengetahuan sejarah tersebut. Dengan demikian tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia adalah fakta sejarah yang sudah final, titik. 

Argumen diatas adalah konsumsi umum masyarakat tentang kebenaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku dalam penalaran sejarah yang berupaya merekonstruksi peristiwa sejarah. Sejarah sebagi ilmu harus terus berupaya mempertanyakan dan merevisi kebenaran sejarah dengan melihat berbagai perspektif.

Kepastian tentang tanggal kemerdekaan Indonesia merupakan tema yang menarik untuk diulik. Terdapat tafsiran berbeda tentang tanggal kemerdekaan Indonesia yang didasarkan perbedaan kepentingan politik antara kedua belah pihak yakni Belanda dan Indonesia. Tulisan ini akan menengok sejarah kemerdekaan Indonesia menggunakan perspektif Belanda.

Bagi Belanda, kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidaklah sah, tidak lain adalah pembelotan kepada pemerintahan. Belanda menganggap Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949, yakni ketika penyerahan kedaulatan hitam diatas putih dalam Konferensi Meja Bundar di Istana Dam, Amsterdam. Hal tersebut didukung dengan beberapa alasan yakni Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak memenuhi syarat dalam mendirikan sebuah bangsa. Berdasarkan hukum Internasional, sebuah negara bisa dikatakan merdeka jika sudah memenuhi syarat-syarat diantaranya (1) Rakyat (2) Pengakuan negara lain (3) Wilayah (4) Pemerintah yang berdaulat.

Dari segi masyarakat, Proklamasi 17 Agustus tidak menghasilkan dukungan penuh dari masyarakat Indonesia khususnya di pedesaan, mantan pegawai Belanda, dan mereka yang berasal dari kelas bangsawan. Terkadang, para pejuang juga menangkap hingga menculik mereka yang kedapatan memiliki pendapat positif akan Belanda atau sekedar menggunakan mata uang Belanda (Litelnoli, 2019). 

Apalagi pengakuan dari negara lain atas kemerdekaan Indonesia baru datang pada tahun 22 Maret 1946 dari Mesir sebagai negara pertama yang secara resmi mengakui kedualatan Indonesia. Disusul Lebanon dan Arab Saudi pada tahun1947 serta negara liga Arab lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari pandangan politik global yang mencurigai campur tangan Jepang dalam kemerdekaan Indonesia. Jepang, si negara fasis yang saat itu adalah biang keladi perang dunia ke dua menjadi ancaman dunia. Sehingga patut bila Indonesia tertuduh sebagai negara bentukan fasisme.

Sementara itu mengenai wilayah, perundingan mengenai wilayah Indonesia baru diselenggarakan satu tahun kemudian dalam Perundingan Linggarjati 1946. Perundingan yang diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir memutuskan bahwa Belanda akan mengakui Indonesia sebagai Persemakmuran Belanda dengan bentuk Negara Republik Serikat serta wilayah yang hanya mencakup Jawa, Madura, dan Sumatera. Lalu, Indonesia dengan cakupan wilayah mana yang di proklamasikan oleh Bung Karno?

Hal tersebut berhubungan dengan peristiwa agresi militer yang telah menewaskan ribuan rakyat Indonesia. Perspektif Belanda, serangan pasukan militer tersebut bukanlah upaya penajajahan kembali melainkan dapat dibenarkan sebagai aksi polisionil untuk menjaga stabilitas Negara Hindia Belanda yang sedang chaos akibat ulah ekstrimisme yang bersumbunyi dalam baju nasionalisme. Belanda menilai proklamasi dan usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan adalah sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.

Bila dikaji secara cermat, apa dasarnya kita mengakatakan bahwa Belanda menjajah Indonesia? Kedatangan Belanda dan negara-negara barat lainnya ke wilayah Nusantara jauh lebih dulu daripada lahirnya bangsa Indonesia. Dengan berbagai upaya politis, mereka berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia, hitam diatas kertas. Mereka memerintah disebuah tanah kosong tak dimiliki negara manapun. Wajar saja bila Belanda ogah mengakui kemerdekaan Indonesia. Usaha-usaha kemerdekaan Indonesia ibarat seperti bocah kemarin yang berteriak minta dibelikan rumah mewah untuk ditinggali sendiri. 

Bahkan bisa dikatakan kelahiran Indonesia disebabkan oleh keberadaan Belanda itu sendiri yang kita anggap penjajah. Jika tanpa ada Belanda dan negara barat yang datang ke wilayah yang ditempati negara Indonesia sekarang ini, sulit rasanya kerajaan-kerajaan dan daerah yang terpisah pada waktu itu bersatu membentuk kekuatan nasional. Maka bisa dibayangkan dalam wilayah Nusantara terdapat banyak negara atau kerajaan yang berdaulat masing-masing hingga sekararang tanpa adanya Indonesia.

Bukan bermaksud mengikis nasionalisme anak-anak muda, penulis hanya berupaya meluaskan penafsiran sejarah yang selama ini kita hanya diajarkan menggunakan kacamata kuda. Satu hal yang perlu diingat mempelajari sejarah bukan hanya perkara menumbuhkan benih-benih nasionalisme. Melainkan juga berfungsi dalam memelihara akal sehat agar terhindar dari jebakan hitam-putih sejarah. Sejarah tidak seperti drama sinetron yang berkisah antara peran antagonis dan protagonis, tidak sesederhana itu. Belanda bukanlah penjahat dan Indonesia sebaliknya. Sejarah terlalu rumit untuk disederhanakan dengan cara pandang false dichotomy (hitam-putih). Setiap penafsiran sejarah tidak terlepas dari bias politik dan berbagai kepentingan tertentu.

Setiap penafsiran tersebut yang harus kita pahami secara arif. Artinya bahwa melihat sejarah harus secara utuh, tidak setengah-setengah, harus ada upaya melepaskan diri dari penafsiran yang tertutup dan terlepas dari cara berpikir terkotak-kotakan. Jika sejarah adalah milik penguasa maka kebenaran sejarah adalah milik mereka yang berpikir.

Penulis : Divisi Kajian dan Strategis

Kamis, 05 Agustus 2021

Telisik Jebakan Manifestasi Klinis Covid-19 : Misteri Happy Hypoxia Syndrome

Melonjaknya prevalensi Covid-19 di Indonesia saat ini memancing pemerintah dan masyarakat untuk lebih waspada dalam menyikapi kekacauan penyebaran virus berskala besar. Tingkat prevalensi Covid-19 yang sebenarnya lebih tinggi daripada yang ditunjukkan angka resmi masih dikaburkan oleh keterbatasan pengujian dan pelacakan kontak. Kecerobohan penyikapan sangat rentan menjadi pemicu tambahan tidak terdeteksinya sebaran virus yang semakin meluas. Rantai yang tak terputus karena kurangnya pemahaman dan edukasi yang tepat terkait Covid-19 menjadi jebakan baru yang mematikan. Beberapa manifestasi klinis masih menjadi misteri terutama bagi masyarakat awam tak dapat dianggap sebagai angin lalu begitu saja. 

‘Happy’ hipoksia atau ‘silent’ hipoksemia menambah keberagaman manifestasi klinis Covid-19. Pada awal kasus terkonfirmasi gejala umum penyakit yaitu demam, kelelahan, dan batuk kering. Serta beberapa organ yang terlibat seperti pernapasan (batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, hemoptisis atau batuk darah, nyeri dada), gastrointestinal (diare,mual,muntah), neurologis (kebingungan dan sakit kepala) (Levani et al., 2021). ‘Happy’ hipoksia, yaitu suatu kondisi dimana pasien memiliki saturasi oksigen yang rendah saat dilakukan pemeriksaan menggunakan oximetry (SpO2 < 90%) namun tidak memiliki gejala pernafasan yang spesifik, tidak mengalami kesulitan bernafas dan terlihat baik-baik saja (Dita Ayu Permata Dewi, 2021). Istilah ini pertama kali muncul pada Mei 2020 setelah kasus ‘happy’ hipoksia pada Covid-19 dilaporkan pada April 2020 lalu dengan konfirmasi gejala ringan yang terus mengalami penurunan kondisi secara cepat hingga akhirnya meninggal dunia. Dulunya istilah ini lebih tepat disebut dengan ‘silent’ hipoksemia karena merujuk pada keadaan hipoksemia tanpa adanya sesak. Kekontrasan gambaran klinis pada pasien ‘happy’ hipoksia menjadi tantangan tersendiri sekaligus celah kekeliruan yang mengarah pada kesimpulan akhir bahwa pasien tidak sedang dalam keadaan kritis. 
 
Kejelian sangat diperlukan pada penanganan kasus Covid-19 seperti halnya saat membedakan hipoksia dan hipoksemia. Hipoksia menggambarkan kondisi saturasi oksigen (SpO2) mengalami penurunan dalam jaringan. Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri atau dapat disebut secara sederhana sebagai kadar oksigen dalam darah yang dinyatakan dengan satuan %. Rentang normal saturasi oksigen yaitu 95-100%. Hipoksia berkaitan erat dengan hipoksemia yaitu kondisi yang mengacu pada rendahnya kadar oksigen dalam darah (SpO2). Pada ’happy’ hipoksia memiliki kesamaan yaitu rendahnya saturasi oksigen. Selain pengukuran saturasi oksigen menggunakan oximetry, terdapat cara lain untuk deteksi dini ‘happy’ hipoksia yaitu dengan menarik napas dalam secara berulang 2-3 kali. Jika merasakan reaksi berupa batuk, maka hal tersebut dapat menjadi tanda yang harus diwaspadai. Perlu dilakukan secara berkala dalam satu hari pada pagi-siang-sore-malam. Adapun frekuensi napas cepat, merasa cepat lelah, rasa berat di dada saat bernapas dapat menjadi pendorong seseorang harus segera melapor pada fasilitas kesehatan.

Meskipun tidak menunjukkan gejala yang signifikan, kondisi ‘happy’ hipoksia harus segera ditangani. Dalam upaya mengembalikan kadar oksigen skala ringan dapat dilakukan dengan pemberian oksigen melalui masker atau selang oksigen. Sedangkan untuk skala berat dengan penurunan kesadaran dan ketidakmampuan bernafas maka perlu diberi bantuan melalui mesin ventilator dan dibawa ke ruang ICU. Selain, itu pemulihan daya tahan tubuh juga perlu dilakukan dengan pemberian nutrisi. 
 
Fatalnya akibat dari gejala ini yang dapat menyebabkan berkurangnya tingkat kesadaran bahkan kematian menyulut perhatian dari banyak pihak. Topik hangat yang menjadi perbincangan tak akan bermakna apa-apa jika masih banyak pula yang tak mampu bermawas diri terhadap serangan nyata dari virus mematikan ini. Perlu sedikit membuka mata dan berpikir cerdik, jika seseorang yang terlihat biasa dengan komunikasi yang lancar tanpa mengalami gangguan kondisi fisik ternyata tidak menyadari bahwa dirinya sedang terancam karena kurangnya instropeksi dan kewaspadaan terhadap gejala ‘happy’ hipoksia. Akan berapa banyak lagi jiwa yang harus direlakan pergi. 

Daftar Pustaka

1. Dita Ayu Permata Dewi, W. T. U. (2021). ‘ Happy Hypoxia ’ in patient with COVID-19. Medula, 10(4), 677–684.
2. Levani, Prastya, & Mawaddatunnadila. (2021). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Pilihan Terapi. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 17(1), 44–57. 

Penulis : Divisi Kajian dan Strategis

Jumat, 30 Juli 2021

Barisan Mahasiswa dan Pemuda Pacitan Lakukan Audiensi Terkait Kebijakan PPKM.

Mahasiswa dan Pemuda yang tergabung dalam Organisasi Petupa, HMI, GMNI, IMM, PMII dan ALMAPA geruduk Pendopo Kabupaten Pacitan pada Jumat 30 Juli 2021. Audiensi yang dihadiri oleh Bupati Pacitan, Sekertaris Daerah, Kepala Dinsos, Kepala RSUD dr Darsono dan PLT Dinkes tersebut membahas kebijakan PPKM dan masalah-masalah penanganan pandemi lainya. 

Audiensi tersebut dilatarbelakangi kajian dan konsolidasi yang berhasil mengumpulkan beberapa masalah-masalah yang belakangan ini terjadi saat kebijakan PPKM dan penanganan sebaran Virus COVID-19. 
Dalam kesempatan audiensi mereka menyampaikan pernyataan sikap dan beberapa keresahanya terkait hal tersebut. 

"Maksud dan tujuan kami datang kesini bukanlah ingin menolak pemberlakuan PPKM. Namun tidak lain dan tidak bukan adalah ingin mengetahui evaluasi dari kebijakan PPKM yang selama ini dijadikan solusi dalam penanganan COVID 19".  Ungkap Tonis, salah satu mahasiswa gabung dari GMNI. 

Adapun point-point yang di suarakan dalam Audiensi tersebut diantaranya adalah evaluasi gugus tugas, transparansi dana terkait penanganan COVID-19 dan kehadiran pemerintah dalam menjamin kehidupan sosial saat PPKM. 

"Di satu sisi terdapat masalah komunikasi yang selama ini terjadi dalam penanganan pandemi. Keterbukaan informasi dan penyebarluasan edukasi terkait COVID-19 dari Pemerintah sendiri sangat kurang bahkan hampir kami tidak mengetahuinya. Hal itu dapat mengikis kepercayaan masyarakat  kepada otoritas kesehatan dan pemerintah. Jika memang Pemerintah terdapat kendala dalam penyebarluasan informasi serta edukasi, biar kami saja yang berusaha untuk menyebarkannya". Tambah  Irvan Bayu, ketua Petupa. 

Audiensi yang berjalan dari pukul 10.00 tersebut harus terpaksa dihentikan di tengah jalan. Hal tersebut karena keterbatasan waktu terkait dengan ibadah sholat jum'at. Audiensi lanjutan rencananya akan dilaksanakan pada hari Senin, 2 Agustus 2021.

Rabu, 28 Juli 2021

Semburan Infodemi di Tengah Covid 19 dan Kecacatan Teori Konspirasi.

Lonjakan kasus Covid 19 membuka mata kita dalam melihat kekacauan  penanganan kita.  Dalam hal ini, sektor media informasi memegang peran vital yang setara dengan otoritas kesehatan. Tugas media informasi tidak hanya menyebarkan pengetahuan namun juga memandu tentang apa yang harus kita lakukan dan tidak boleh dilakukan di situasi saat ini. Seiringan dengan itu, media digital dengan kecepatan dan kemudahan aksesnya menjadi primdona masyarakat dalam mencari informasi. 

Akan tetapi, media digital menyimpan seumbrek masalahnya saat kondisi belakangan ini. Infodemi merupakan masalah yang menjadi penyakit serius dalam media digital saat ini. WHO mendefinisikan bahwa Infodemi adalah terlalu banyak informasi, termasuk informasi palsu atau menyesatkan selama wabah penyakit. Tedros Adhnom, direktur jendral WHO mengatakan _“Kita tidak hanya melawan pandemi, namun juga melawan infodemi.”_ Pada tanggal 29 Juni, WHO secara resmi memulai pembicaraan tentang efek global dan pengelolaan infodemi dengan Konferensi Infodemiologi ke-1 yang mengumpulkan para ahli internasional dari berbagai latar belakang ilmiah dan politik.  (WHO, 2020). 

Di era keterbukaan Infromasi saat ini, Infodemi membuat keletihan dalam mengelola informasi yang pada giliranya orang-orang akan percaya informasi secara mentah-mentah. Persebaran informasi ibarat banjir bandang yang dapat melululantahkan tanggul-tanggul berpikir kritis. Banjir bandang tersebut beriringan dengan sampah dan rongsokan disinformasi/misinformasi yang di bawanya. Disinformasi adalah informasi palsu yang disengaja sedangkan misinformasi ialah infromasi yang salah/tidak akurat.

Dampak yang diakibatkan oleh infodemi cukup signfikan terhadap penanganan pandemi. Hal tersebut karena dis/misinformasi dapat membuat masyakat kebingungan dan pengambilan sikap serta berakibat pada perilaku dan keputusan yang salah. Sehingga itu akan berpengaruh terhadap lamanya wabah berkahir. Launa dalam penelitianya menyimpulkan jika fenomena banjir infodemi tidak ditangani secara serius oleh pihak pemilik otoritas, potensial memicu ketidakpercayaan publik terhadap tanggung jawab institusi global dan otoritas negara, memantik sikap apatis publik dalam mengantisipasi dan menangani bahaya wabah secara kolektif. (Luna, 2020)
 Salah satu rongsokan dan sampah Infodemi yang belakangan ini memenuhi laman media adalah beredarnya teori konspirasi.  Bale mendefinisikan bahwa teori konspirasi adalah keyakinan bahwa sekelompok aktor bertemu dalam kesepakatan rahasia dengan tujuan mencapai beberapa tujuan jahat (Jan-Willem van Prooijen, 2018).  

Isu teori konspirasi mengalami lonjakan seiringan dengan berlangsungnya Pandemi.  Isu ini berkembang dengan desas-desus yang berbeda, diantaranya seperti Virus Corona merupakan rekayasa Bill Gates, virus corona adalah senjata biologis China, sinyal 5G sebagai perantara virus, pandemi merupakan akal-akalan elite global dll.  Bisa dikatakan Pandemi Covid 19 telah menjadikan ladang beternak bagi perkembang biakan teori konspirasi dan para peternaknya. 

Teori konspirasi ibarat seperti makanan basi yang di kerumuni lalat. Berbagai wacana konspirasi Covid 19 di endors oleh publik figur seperti artis, pesulap, motivator dan bahkan koruptor. Dengan berbekal retorika dan logika anti-mainstream, mereka mudah mendapatkan pengikut. Hasil Survei yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan masih ada banyak misinformasi yang membuat banyak orang tak percaya terhadap COVID-19. “Sebanyak 18,5 persen plus 2,7 persen setuju sama pernyataan itu COVID-19 mungkin hanya hoaks. Jadi 20 an persen atau seperlima penduduk kita menganggap COVID-19 itu hoaks," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin

Jika kita mengamati berbagai argumen dari para advokat teori konspirasi, kita akan  menemukan berabagai kecaatan berpikir (logical fallacy) yang terkesan logis namun menipu dan menyesatkan. Salah satunya adalah confirmation bias. Kecacatan berpikir ini merupakan keinginan untuk membenarkan hal-hal yang hanya ingin kita percayai. Cara berpikir semacam ini membawa kita untuk hanya mencari informasi dan bukti yang sesuai dengan asumsi yang pada dasarnya kita percayai namun cenderung menafikan dan menyangkal bukti dan informasi yang bersebrangan dengan kepercayaan dan hal-hal yang tidak kita sukai.

Confirmation bias lumrah terjadi dalam penalaran kehidupan kita sehari-hari. Hal ini berdasarkan pada sifat alamiah manusia yang cenderung mencari informasi, asumsi dan bukti berdasarkan hal-hal yang disukai. Hal itu diakibatkan karena kebenaran-kebenaran yang kita sukai merupakan area yang membuat perasaan kita nyaman. Sehingga kenyamanan tersebut  menjadi tembok yang memenjarakan pikiran-pikiran objektif. Hal ini merupakan kontras dengan cara berpikir ilmiah yang melihat sesuatu secara objektif. 

Di satu sisi, teori konspirasi merupakan hasil dari kenaifan seseorang dalam memahami situasi yang tidak pasti. Di dorong dengan kecemasan dan kepanikan saat pandemi, orang-orang cenderung mencari jawaban dengan jalan pintas. Sehingga teori konspirasi dengan penjelasanya yang pasti menjadi jalan keluar dari kebuntuan situasi. Dengan membuat musuh proyeksi dan rencana jahatnya yang rahasia, teori konspirasi begitu memuaskan untuk menjelaskan keadaan acak dan tak menentu. 

Bagi yang sudah tenggelam dengan kebiasaaan malas berpikir, tentunya tidak mudah untuk memahami bagaimana kecatatan dari teori konspirasi. Namun cukup dengan menyediakan ruang kesabaran dalam pikiran dan tidak terburu menyimpulkan adalah cara sederhana untuk melihat kecacatan dalam teori konspirasi. Jebolnya tanggul berpikir akibat banjir informasi dan menjamurnya teori konspirasi telah melanjangi kebodohan yang sebelumnya mengakar.


DAFTAR PUSTAKA

1. Jan-Willem van Prooijen, M. v. (2018). Conspiracy Theories: Evolved Functions and Psychological Mechanism. Perspectives on Psychological Science , 771-786. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1745691618774270

2. Launa, Launa. (2020) Banjir Infodemi : Viralitas Akurasi Berita Virology Dalam Fenomena Coronavirus Desease, 1-33. Diakses dari http://jurnal.usahid.ac.id/index.php/ilmu_komunikasi/article/view/305

3. Syamsudi , Irwan  (2021 Februari).  Survei Indikator: 21,2% Percaya COVID-19 Hoaks, 41% Enggan Divaksin. Diakses dari https://tirto.id/survei-indikator-212-percaya-covid-19-hoaks-41-enggan-divaksin-gat3

4. WHO. Infodemi. Diakses dari https://www.who.int/health-topics/infodemic

Penulis : Divisi Kajian dan Strategis

Sabtu, 01 Mei 2021

Hari Buruh. Kilas balik dan Mispersepsi Kita.

Penetapan 1 Mei sebagai hari Buruh internasional melibatkan proses sejarah yang panjang dan perjuangan yang berdarah-darah. Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, ratusan ribu buruh di Amerika Serikat melakukan protes dengan cara mogok kerja di berbagai kota selama 4 hari. Protes tersebut bermaksud untuk mengubah porsi jam kerja dari 18 jam sehari menjadi 8 jam sehari. Pada tanggal 4 Mei para buruh melaksanakan pawai besar. Namun tragisnya pawai tersebut diakhiri dengan kerusuhan antara polisi dan buruh yang mengakibatkan ratusan korban jiwa dan beberapa buruh dihukum mati. 

Sebagai upaya mengenang peristiwa tersebut pada tahun 1889 ditetapkan sebagai bahwa 1 Mei sebagai hari buruh Internasional (Mayday) oleh Kongres Sosialis Dunia yang dilaksanakan di Paris. Penetapan hari buruh tersebut menjadi angin segar bagi kaum buruh dalam memperjuangkan hak-hak nya yang sejak lahirnya masyarakat industri para buruh bisa dikatakan sebagai budak modern. Hal tersebut karena kapitalisme yang berupaya mencapai keuntungan sebesar-besarnya dengan modal seminimal mungkin. Dalam masyarakat kapitalisme, buruh bukanlah manusia ia adalah bagian dari komoditas ekonomi. 

Hingga kini, sebenarnya suara buruh tidak berhenti bergema. Nyaris setiap peringatan hari Buruh terjadi demonstrasi dan advokasi oleh kalangan civil society untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Namun pada waktu yang sama juga tidak jarang orang-orang komentar negatif terhadap aksi para Buruh. "Buruh ini demo terus, kurang kerjaan apa? Mending kerja aja, tingkatkan kualitas diri. Supaya gajinya naik. Jangan protes mulu". Lebih parah mereka tidak paham betul siapa sebenarnya yang disebut buruh dan bagaimana perjuangan buruh berpengaruh untuk keadilan banyak orang. 

Masyarakat kita umumnya mengasosiasikan buruh hanyalah mereka yang bekerja kasar tanpa keahlian profesional. Seperti kuli bangunan, pekerja pabrik, pekerja tambang, pembantu rumah tangga dll. Buruh bukan hanya berbeda namun pekerjaan rendahan jika dibandingkan dengan karyawan, freelance, pegawai, staff bank dan pekerjaan kerah putih lainya. 


Jika buruh adalah seseorang yang bekerja untuk orang lain atau apapun diluar dirinya demi mendapatkan upah. Maka seorang ASN, pegawai bank, reporter media, karyawan kantoran dan pekerjaan kerah putih lainnya adalah buruh karena prinsipnya ia dipekerjakan. 
Mengacu pada undang-undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan bahwa "buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Berdasarkan  undang-undang tersebut siapapun dan dimana pun tempat bekerja. Tidak peduli apakah kita kasir starbuck, teller bank, pegawai negeri dan karyawan supermarket. Entah berada di kantor ber- AC, gedung bertingkat 10, dirumah atau di sawah selama kita bekerja untuk upah dari orang lain maka kita adalah buruh. 


Secara substansial buruh adalah orang yang tidak memiliki alat produksi. Berbeda dengan pemiliki modal yang memiliki alat produksi. Kita sering menyebutkan kapitalis. Alat produksi adalah komoditi yang memiliki nilai ekonomis di pasaran. Ayam yang berada di hutan bukanlah komoditas tetapi ayam yang berada di peternakan dan diproses menjadi Kentucky adalah komoditas. Air yang bertempat di sumber mata air bukanlah komoditas namun air yang telah disuling di pabrik lalu dimasukan di botol plastik bernilai jual. Dengan kepemilikan modal atau alat produksi tersebut maka pengusaha bebas mempekerjakan orang untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya. 

Reduksi pemahaman buruh di Indonesia berakar dari sejarah Orde Baru yang alergi dengan gerakan kiri dan seluk-beluknya. Istilah buruh pada dasarnya sering dipakai dalam perjuangan melawan ketidakadilan kelas dalam masyarakat industri. Oleh karena itu dalam upaya untuk meredam girah dan solidaritas perlawanan kaum buruh, Orde Baru menggantikan dengan kata pekerja dan disusul dengan mengubah nama organisasi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Mispersepsi tentang buruh sampai sekarang masih terus berlanjut. Akibatnya banyak orang yang tidak punya kesadaran bahwa dirinya adalah buruh dan bahwa dia punya hak-hak yang harus dilindungi. Ketidaktahuan ini menjadi hamabatan dalam membangun solidaritas antara kaum buruh. Kaum buruh tidak mengerti apa yang menjadi masalahnya dan bagaimana harus melakukan. Sehingga perjuangan melawan ketidakadilan kelas menjadi sulit diwujudkan.


Penulis : Divisi Kajian dan Strategis

Kamis, 29 April 2021

Pagelaran Peringati Hari Tari Dunia 2021

Kamis, 29 April 2021 - Pemuda untuk Pacitan (PETUPA) bersama dengan Reog Sido Rukun Bangunsari dan Kethek Ogleng Pacitan turut memeriahkan peringatan Hari Tari unia 2021. Pagelaran ini diadakan di pasar minulyo. Animo masyarakat yang haus hiburan pun turut meramaikan. Pada awal acara, penonton langsung disuguhkan dengan kemeriahan flashmob dari para penari yang melingkari Kethek Ogleng.

Tarian Kethek Ogleng yang telah dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda milik Pacitan pada tahun 2019 menjadi pembuka pagelaran malam ini. Gerakan yang atraktif dan lincah ini menjadi ciri khas dari tarian Kethek Ogleng Pacitan ini. Keusilan dari salah satu penari Kethek Ogleng seperti menggoda para penonton menjadikan penampilannya sangat menghibur. 

Gerakan sang pembarong pun tak luput dari perhatian para penonton yang terkesima dengan gerakannya. Reog yang sempat diklaim oleh Malaysia ini selalu menyajikan tampilan yang sungguh luar biasa. Atraksi dari bujang ganong sangat menarik perhatian. Salto satu, dua, hingga tiga kali membuat para penonton berdecak kagum. Adapun pembarong dari Ponorogo dan Baturetno yang turut memeriahkan acara pada malam ini. 

Penampilan yang semarak ini diharapkan mampu mengenalkan budaya-budaya Indonesia khususnya budaya lokal kepada masyarakat terutama para pemuda. Budaya adalah jati diri dan tonggak bangsa. Jadi, mari kita lestarikan bersama-sama. 

Selamat Hari Tari Dunia

Salam Pemuda Perubahan!!! 

Penulis : Adika Bayu
Penyunting : Irvan Bayu

Sinergitas Sebagai Upaya Pelestarian Budaya

Harapan kami mulai tercerahkan dengan tersebarnya pamflet yang mengusung tema "Ngobrol Bareng Mas Bupati dengan Pelaku Seni...