Sabtu, 28 Agustus 2021

Sinergitas Sebagai Upaya Pelestarian Budaya

Harapan kami mulai tercerahkan dengan tersebarnya pamflet yang mengusung tema "Ngobrol Bareng Mas Bupati dengan Pelaku Seni Budaya". Di publikasikan secara live, melalui jejaring sosial akun YouTube PEMKAB Pacitan, tampilan-tampilan seni budaya ciri khas Pacitan berupa tari-tarian, wayang, ketek ogleng dll akan tersaji secara menarik dan menggugah rasa cinta akan budaya asli kota kelahiran.

Ditutup dengan obrolan berbobot dari mas Bupati dengan pelaku seni budaya, berisi sosialisasi, apresiasi, kesejahteraan, serta eksistensi budaya lokal, yang semakin lama semakin terkikis oleh budaya dari barat. Tidak kalah penting, pemberian penghargaan secara simbolis oleh mas Bupati terhadap pelaku (penanggung jawab) atas prestasi baru sebagai WBTB (Warisan Budaya Tidak Benda) dibarengi dengan harapan besar dari mas Bupati untuk tetap menjaga serta melestarikan budaya yang ada di Pacitan, baik yang telah tercatat maupun yang belum.

Pada nyatanya, tidak ada obrolan bareng Pak Bupati dalam acara tersebut. Hanya prosesi penyerahan bantuan pada Seniman Pacitan dengan tampilan Electone dari Sampan. Hal ini tentunya berbeda dengan apa yang telah dicantumkan dalam pamflet. Sedikit mengecewakan bagi yang menantikan obrolan ini karena ada beberapa harapan-harapan yang mungkin ingin didengar dari obrolan tersebut. 

Walaupun tidak ada obrolan bersama Bapak Bupati, tapi semoga ini menjadi awal perhatian pemerintah terhadap para seniman Pacitan. Terlebih khusus perhatian terhadap seni budaya yang sudah mendapatkan penghargaan agar tidak hanya sekedar seremonial saja. Karena, budaya menjadi tonggak bangsa sehingga para generasi muda mampu mengenali budaya Indonesia terutama budaya Pacitan sendiri. 

Dalam pelestarian budaya tentunya tidak hanya peran dari pemerintah saja. Namun, para ahli sudah menemukan teori yang bernama "pentahelix". Di dalam teori ini menyebutkan ada beberapa agen yang harus berperan dalam pelestarian budaya, yaitu pemerintah, organisasi, sosial media, industri, dan akademisi. Kelima agen ini memiliki perannya masing-masing yang tentunya harus saling bersinergi. 

Sinergi inilah yang selalu diharapkan agar terjadi perubahan yang pasti. Segala usaha dan upaya harus selalu kita lakukan dalam pelestarian budaya. Dinamika yang terjadi semoga menjadi hal-hal yang seharusnya diperbaiki dan selalu memotivasi kita. Sekali lagi, Budaya adalah tonggak bangsa. Harapan-harapan selalu kita panjatkan dan selalu kita upayakan dalam melestarikannya. 

Selasa, 17 Agustus 2021

Kemerdekaan Indonesia: Perspektif Historis Versi Belanda

Hampir seluruh masyarakat Indonesia tentunya mengamini bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari kemerdekaan Indonesia. Guru-guru sejarah di sekolah mengajarkan hal demikian, pengetahuan sejarah akan hal itu sudah dipakemkan dan sangat langka sekali peringatan hari kemerdekaan diselenggarakan bukan atas dasar pengetahuan sejarah tersebut. Dengan demikian tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia adalah fakta sejarah yang sudah final, titik. 

Argumen diatas adalah konsumsi umum masyarakat tentang kebenaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku dalam penalaran sejarah yang berupaya merekonstruksi peristiwa sejarah. Sejarah sebagi ilmu harus terus berupaya mempertanyakan dan merevisi kebenaran sejarah dengan melihat berbagai perspektif.

Kepastian tentang tanggal kemerdekaan Indonesia merupakan tema yang menarik untuk diulik. Terdapat tafsiran berbeda tentang tanggal kemerdekaan Indonesia yang didasarkan perbedaan kepentingan politik antara kedua belah pihak yakni Belanda dan Indonesia. Tulisan ini akan menengok sejarah kemerdekaan Indonesia menggunakan perspektif Belanda.

Bagi Belanda, kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidaklah sah, tidak lain adalah pembelotan kepada pemerintahan. Belanda menganggap Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949, yakni ketika penyerahan kedaulatan hitam diatas putih dalam Konferensi Meja Bundar di Istana Dam, Amsterdam. Hal tersebut didukung dengan beberapa alasan yakni Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak memenuhi syarat dalam mendirikan sebuah bangsa. Berdasarkan hukum Internasional, sebuah negara bisa dikatakan merdeka jika sudah memenuhi syarat-syarat diantaranya (1) Rakyat (2) Pengakuan negara lain (3) Wilayah (4) Pemerintah yang berdaulat.

Dari segi masyarakat, Proklamasi 17 Agustus tidak menghasilkan dukungan penuh dari masyarakat Indonesia khususnya di pedesaan, mantan pegawai Belanda, dan mereka yang berasal dari kelas bangsawan. Terkadang, para pejuang juga menangkap hingga menculik mereka yang kedapatan memiliki pendapat positif akan Belanda atau sekedar menggunakan mata uang Belanda (Litelnoli, 2019). 

Apalagi pengakuan dari negara lain atas kemerdekaan Indonesia baru datang pada tahun 22 Maret 1946 dari Mesir sebagai negara pertama yang secara resmi mengakui kedualatan Indonesia. Disusul Lebanon dan Arab Saudi pada tahun1947 serta negara liga Arab lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari pandangan politik global yang mencurigai campur tangan Jepang dalam kemerdekaan Indonesia. Jepang, si negara fasis yang saat itu adalah biang keladi perang dunia ke dua menjadi ancaman dunia. Sehingga patut bila Indonesia tertuduh sebagai negara bentukan fasisme.

Sementara itu mengenai wilayah, perundingan mengenai wilayah Indonesia baru diselenggarakan satu tahun kemudian dalam Perundingan Linggarjati 1946. Perundingan yang diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir memutuskan bahwa Belanda akan mengakui Indonesia sebagai Persemakmuran Belanda dengan bentuk Negara Republik Serikat serta wilayah yang hanya mencakup Jawa, Madura, dan Sumatera. Lalu, Indonesia dengan cakupan wilayah mana yang di proklamasikan oleh Bung Karno?

Hal tersebut berhubungan dengan peristiwa agresi militer yang telah menewaskan ribuan rakyat Indonesia. Perspektif Belanda, serangan pasukan militer tersebut bukanlah upaya penajajahan kembali melainkan dapat dibenarkan sebagai aksi polisionil untuk menjaga stabilitas Negara Hindia Belanda yang sedang chaos akibat ulah ekstrimisme yang bersumbunyi dalam baju nasionalisme. Belanda menilai proklamasi dan usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan adalah sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.

Bila dikaji secara cermat, apa dasarnya kita mengakatakan bahwa Belanda menjajah Indonesia? Kedatangan Belanda dan negara-negara barat lainnya ke wilayah Nusantara jauh lebih dulu daripada lahirnya bangsa Indonesia. Dengan berbagai upaya politis, mereka berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia, hitam diatas kertas. Mereka memerintah disebuah tanah kosong tak dimiliki negara manapun. Wajar saja bila Belanda ogah mengakui kemerdekaan Indonesia. Usaha-usaha kemerdekaan Indonesia ibarat seperti bocah kemarin yang berteriak minta dibelikan rumah mewah untuk ditinggali sendiri. 

Bahkan bisa dikatakan kelahiran Indonesia disebabkan oleh keberadaan Belanda itu sendiri yang kita anggap penjajah. Jika tanpa ada Belanda dan negara barat yang datang ke wilayah yang ditempati negara Indonesia sekarang ini, sulit rasanya kerajaan-kerajaan dan daerah yang terpisah pada waktu itu bersatu membentuk kekuatan nasional. Maka bisa dibayangkan dalam wilayah Nusantara terdapat banyak negara atau kerajaan yang berdaulat masing-masing hingga sekararang tanpa adanya Indonesia.

Bukan bermaksud mengikis nasionalisme anak-anak muda, penulis hanya berupaya meluaskan penafsiran sejarah yang selama ini kita hanya diajarkan menggunakan kacamata kuda. Satu hal yang perlu diingat mempelajari sejarah bukan hanya perkara menumbuhkan benih-benih nasionalisme. Melainkan juga berfungsi dalam memelihara akal sehat agar terhindar dari jebakan hitam-putih sejarah. Sejarah tidak seperti drama sinetron yang berkisah antara peran antagonis dan protagonis, tidak sesederhana itu. Belanda bukanlah penjahat dan Indonesia sebaliknya. Sejarah terlalu rumit untuk disederhanakan dengan cara pandang false dichotomy (hitam-putih). Setiap penafsiran sejarah tidak terlepas dari bias politik dan berbagai kepentingan tertentu.

Setiap penafsiran tersebut yang harus kita pahami secara arif. Artinya bahwa melihat sejarah harus secara utuh, tidak setengah-setengah, harus ada upaya melepaskan diri dari penafsiran yang tertutup dan terlepas dari cara berpikir terkotak-kotakan. Jika sejarah adalah milik penguasa maka kebenaran sejarah adalah milik mereka yang berpikir.

Penulis : Divisi Kajian dan Strategis

Kamis, 05 Agustus 2021

Telisik Jebakan Manifestasi Klinis Covid-19 : Misteri Happy Hypoxia Syndrome

Melonjaknya prevalensi Covid-19 di Indonesia saat ini memancing pemerintah dan masyarakat untuk lebih waspada dalam menyikapi kekacauan penyebaran virus berskala besar. Tingkat prevalensi Covid-19 yang sebenarnya lebih tinggi daripada yang ditunjukkan angka resmi masih dikaburkan oleh keterbatasan pengujian dan pelacakan kontak. Kecerobohan penyikapan sangat rentan menjadi pemicu tambahan tidak terdeteksinya sebaran virus yang semakin meluas. Rantai yang tak terputus karena kurangnya pemahaman dan edukasi yang tepat terkait Covid-19 menjadi jebakan baru yang mematikan. Beberapa manifestasi klinis masih menjadi misteri terutama bagi masyarakat awam tak dapat dianggap sebagai angin lalu begitu saja. 

‘Happy’ hipoksia atau ‘silent’ hipoksemia menambah keberagaman manifestasi klinis Covid-19. Pada awal kasus terkonfirmasi gejala umum penyakit yaitu demam, kelelahan, dan batuk kering. Serta beberapa organ yang terlibat seperti pernapasan (batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, hemoptisis atau batuk darah, nyeri dada), gastrointestinal (diare,mual,muntah), neurologis (kebingungan dan sakit kepala) (Levani et al., 2021). ‘Happy’ hipoksia, yaitu suatu kondisi dimana pasien memiliki saturasi oksigen yang rendah saat dilakukan pemeriksaan menggunakan oximetry (SpO2 < 90%) namun tidak memiliki gejala pernafasan yang spesifik, tidak mengalami kesulitan bernafas dan terlihat baik-baik saja (Dita Ayu Permata Dewi, 2021). Istilah ini pertama kali muncul pada Mei 2020 setelah kasus ‘happy’ hipoksia pada Covid-19 dilaporkan pada April 2020 lalu dengan konfirmasi gejala ringan yang terus mengalami penurunan kondisi secara cepat hingga akhirnya meninggal dunia. Dulunya istilah ini lebih tepat disebut dengan ‘silent’ hipoksemia karena merujuk pada keadaan hipoksemia tanpa adanya sesak. Kekontrasan gambaran klinis pada pasien ‘happy’ hipoksia menjadi tantangan tersendiri sekaligus celah kekeliruan yang mengarah pada kesimpulan akhir bahwa pasien tidak sedang dalam keadaan kritis. 
 
Kejelian sangat diperlukan pada penanganan kasus Covid-19 seperti halnya saat membedakan hipoksia dan hipoksemia. Hipoksia menggambarkan kondisi saturasi oksigen (SpO2) mengalami penurunan dalam jaringan. Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri atau dapat disebut secara sederhana sebagai kadar oksigen dalam darah yang dinyatakan dengan satuan %. Rentang normal saturasi oksigen yaitu 95-100%. Hipoksia berkaitan erat dengan hipoksemia yaitu kondisi yang mengacu pada rendahnya kadar oksigen dalam darah (SpO2). Pada ’happy’ hipoksia memiliki kesamaan yaitu rendahnya saturasi oksigen. Selain pengukuran saturasi oksigen menggunakan oximetry, terdapat cara lain untuk deteksi dini ‘happy’ hipoksia yaitu dengan menarik napas dalam secara berulang 2-3 kali. Jika merasakan reaksi berupa batuk, maka hal tersebut dapat menjadi tanda yang harus diwaspadai. Perlu dilakukan secara berkala dalam satu hari pada pagi-siang-sore-malam. Adapun frekuensi napas cepat, merasa cepat lelah, rasa berat di dada saat bernapas dapat menjadi pendorong seseorang harus segera melapor pada fasilitas kesehatan.

Meskipun tidak menunjukkan gejala yang signifikan, kondisi ‘happy’ hipoksia harus segera ditangani. Dalam upaya mengembalikan kadar oksigen skala ringan dapat dilakukan dengan pemberian oksigen melalui masker atau selang oksigen. Sedangkan untuk skala berat dengan penurunan kesadaran dan ketidakmampuan bernafas maka perlu diberi bantuan melalui mesin ventilator dan dibawa ke ruang ICU. Selain, itu pemulihan daya tahan tubuh juga perlu dilakukan dengan pemberian nutrisi. 
 
Fatalnya akibat dari gejala ini yang dapat menyebabkan berkurangnya tingkat kesadaran bahkan kematian menyulut perhatian dari banyak pihak. Topik hangat yang menjadi perbincangan tak akan bermakna apa-apa jika masih banyak pula yang tak mampu bermawas diri terhadap serangan nyata dari virus mematikan ini. Perlu sedikit membuka mata dan berpikir cerdik, jika seseorang yang terlihat biasa dengan komunikasi yang lancar tanpa mengalami gangguan kondisi fisik ternyata tidak menyadari bahwa dirinya sedang terancam karena kurangnya instropeksi dan kewaspadaan terhadap gejala ‘happy’ hipoksia. Akan berapa banyak lagi jiwa yang harus direlakan pergi. 

Daftar Pustaka

1. Dita Ayu Permata Dewi, W. T. U. (2021). ‘ Happy Hypoxia ’ in patient with COVID-19. Medula, 10(4), 677–684.
2. Levani, Prastya, & Mawaddatunnadila. (2021). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Pilihan Terapi. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 17(1), 44–57. 

Penulis : Divisi Kajian dan Strategis

Sinergitas Sebagai Upaya Pelestarian Budaya

Harapan kami mulai tercerahkan dengan tersebarnya pamflet yang mengusung tema "Ngobrol Bareng Mas Bupati dengan Pelaku Seni...