Kamis, 05 Agustus 2021

Telisik Jebakan Manifestasi Klinis Covid-19 : Misteri Happy Hypoxia Syndrome

Melonjaknya prevalensi Covid-19 di Indonesia saat ini memancing pemerintah dan masyarakat untuk lebih waspada dalam menyikapi kekacauan penyebaran virus berskala besar. Tingkat prevalensi Covid-19 yang sebenarnya lebih tinggi daripada yang ditunjukkan angka resmi masih dikaburkan oleh keterbatasan pengujian dan pelacakan kontak. Kecerobohan penyikapan sangat rentan menjadi pemicu tambahan tidak terdeteksinya sebaran virus yang semakin meluas. Rantai yang tak terputus karena kurangnya pemahaman dan edukasi yang tepat terkait Covid-19 menjadi jebakan baru yang mematikan. Beberapa manifestasi klinis masih menjadi misteri terutama bagi masyarakat awam tak dapat dianggap sebagai angin lalu begitu saja. 

‘Happy’ hipoksia atau ‘silent’ hipoksemia menambah keberagaman manifestasi klinis Covid-19. Pada awal kasus terkonfirmasi gejala umum penyakit yaitu demam, kelelahan, dan batuk kering. Serta beberapa organ yang terlibat seperti pernapasan (batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, hemoptisis atau batuk darah, nyeri dada), gastrointestinal (diare,mual,muntah), neurologis (kebingungan dan sakit kepala) (Levani et al., 2021). ‘Happy’ hipoksia, yaitu suatu kondisi dimana pasien memiliki saturasi oksigen yang rendah saat dilakukan pemeriksaan menggunakan oximetry (SpO2 < 90%) namun tidak memiliki gejala pernafasan yang spesifik, tidak mengalami kesulitan bernafas dan terlihat baik-baik saja (Dita Ayu Permata Dewi, 2021). Istilah ini pertama kali muncul pada Mei 2020 setelah kasus ‘happy’ hipoksia pada Covid-19 dilaporkan pada April 2020 lalu dengan konfirmasi gejala ringan yang terus mengalami penurunan kondisi secara cepat hingga akhirnya meninggal dunia. Dulunya istilah ini lebih tepat disebut dengan ‘silent’ hipoksemia karena merujuk pada keadaan hipoksemia tanpa adanya sesak. Kekontrasan gambaran klinis pada pasien ‘happy’ hipoksia menjadi tantangan tersendiri sekaligus celah kekeliruan yang mengarah pada kesimpulan akhir bahwa pasien tidak sedang dalam keadaan kritis. 
 
Kejelian sangat diperlukan pada penanganan kasus Covid-19 seperti halnya saat membedakan hipoksia dan hipoksemia. Hipoksia menggambarkan kondisi saturasi oksigen (SpO2) mengalami penurunan dalam jaringan. Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri atau dapat disebut secara sederhana sebagai kadar oksigen dalam darah yang dinyatakan dengan satuan %. Rentang normal saturasi oksigen yaitu 95-100%. Hipoksia berkaitan erat dengan hipoksemia yaitu kondisi yang mengacu pada rendahnya kadar oksigen dalam darah (SpO2). Pada ’happy’ hipoksia memiliki kesamaan yaitu rendahnya saturasi oksigen. Selain pengukuran saturasi oksigen menggunakan oximetry, terdapat cara lain untuk deteksi dini ‘happy’ hipoksia yaitu dengan menarik napas dalam secara berulang 2-3 kali. Jika merasakan reaksi berupa batuk, maka hal tersebut dapat menjadi tanda yang harus diwaspadai. Perlu dilakukan secara berkala dalam satu hari pada pagi-siang-sore-malam. Adapun frekuensi napas cepat, merasa cepat lelah, rasa berat di dada saat bernapas dapat menjadi pendorong seseorang harus segera melapor pada fasilitas kesehatan.

Meskipun tidak menunjukkan gejala yang signifikan, kondisi ‘happy’ hipoksia harus segera ditangani. Dalam upaya mengembalikan kadar oksigen skala ringan dapat dilakukan dengan pemberian oksigen melalui masker atau selang oksigen. Sedangkan untuk skala berat dengan penurunan kesadaran dan ketidakmampuan bernafas maka perlu diberi bantuan melalui mesin ventilator dan dibawa ke ruang ICU. Selain, itu pemulihan daya tahan tubuh juga perlu dilakukan dengan pemberian nutrisi. 
 
Fatalnya akibat dari gejala ini yang dapat menyebabkan berkurangnya tingkat kesadaran bahkan kematian menyulut perhatian dari banyak pihak. Topik hangat yang menjadi perbincangan tak akan bermakna apa-apa jika masih banyak pula yang tak mampu bermawas diri terhadap serangan nyata dari virus mematikan ini. Perlu sedikit membuka mata dan berpikir cerdik, jika seseorang yang terlihat biasa dengan komunikasi yang lancar tanpa mengalami gangguan kondisi fisik ternyata tidak menyadari bahwa dirinya sedang terancam karena kurangnya instropeksi dan kewaspadaan terhadap gejala ‘happy’ hipoksia. Akan berapa banyak lagi jiwa yang harus direlakan pergi. 

Daftar Pustaka

1. Dita Ayu Permata Dewi, W. T. U. (2021). ‘ Happy Hypoxia ’ in patient with COVID-19. Medula, 10(4), 677–684.
2. Levani, Prastya, & Mawaddatunnadila. (2021). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Pilihan Terapi. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 17(1), 44–57. 

Penulis : Divisi Kajian dan Strategis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sinergitas Sebagai Upaya Pelestarian Budaya

Harapan kami mulai tercerahkan dengan tersebarnya pamflet yang mengusung tema "Ngobrol Bareng Mas Bupati dengan Pelaku Seni...