Rabu, 21 April 2021

Merumuskan Ulang "Save Earth" dan Berbagai Masalahnya.

Hari bumi identik dengan jargon "save the earth" yang lumrah digemakan dalam berbagai media dan acara. Jargon tersebut seolah-olah mengartikan bahwa bumi sedang mengalami kerusakan dan masa depan bumi hanya berada di tangan kita. Kebanyakan orang sepakat bahwa krisis lingkungan adalah ancaman kepada bumi. Pandangan yang telah diterima sebagai kemapanan tersebut mampu menjadi modal sosial dalam menanggapi berbagai isu lingkungan. 

Namun di balik trend sosial tersebut perlu kiranya kita memahami ulang apa sebenarnya itu "save the earth" dan berbagai hal yang permasalahan di seputarnya agar kita tidak dangkal hanya memahami slogan dan hingga salah paham tentang konsepnya. 
Pertanyaan kritis yang perlu dibahas adalah "Mengapa bumi perlu diselamatkan? Apakah kita benar-benar murni peduli kepada bumi ?".

Bila kita memahami secara serius. Ternyata bumi bukanlah makhluk hidup yang butuh predikat selamat atau tidak selamat. Bahkan jika bumi tanpa oksigen dan air pun tidak masalah baginya. Perlu diketahui bumi telah ada sekitar 4 miliar tahun lalu dengan berjuta organisme hidup yang bergantian menghuni planet ini. Adapun hal yang jarang kita sadari bahwa manusia pernah tidak ada di bumi dan bumi adalah apa adanya bumi dengan berbagai fenomena alam di dalamnya. Pergeseran lempeng tektonik, zaman es, perubahan iklim dan berbagai gajala alam yang dianggap manusia sebagai bencana. 
Sedangkan manusia itu sendiri baru menampakan diri di bumi pada 2 juta tahun yang lalu. Bisa dikatakan manusia seperti bocah kemarin yang berlagak sok-sokan ingin menyelamatkan bumi yang sebenarnya tidak punya masalah apapun. Perjuangan menyelamatkan bumi seperti usaha manaburi garam pada air laut supaya asin. 


Konsep bumi rusak, alam asri, lingkungan indah, dan lain-lain tidak lain adalah sudut pandang kita yang penuh dengan bias kepentingan untuk bertahan hidup. Sama seperti kita melihat banjir sebagai bencana alam karena hal itu merugikan manusia. Coba saja jika banjir itu terjadi di tempat yang jauh dari hunian manusia. Niscaya hal tersebut tidak disebut bencana alam. Dengan demikian sesuatu hal disebut bencana karena mengancam kehidupan manusia. Dengan cara berpikir sederhana sebenarnya upaya untuk menyelamatkan bumi adalah perjuangan manusia agar membuat bumi ramah terhadap manusia dan alam berjalan seiringan dengan kepentingan manusia. Bukan untuk bumi itu sendiri. 

Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan kedua, kita juga harus cermat untuk mengakui bahwa kita sebagai organisme adalah makhluk egois. Bahkan keegoisan kita sering kali menjadi motif dalam argumen yang sering muncul sebagai motif kepedulian lingkungan. Seperti misal ucapan yang sering dijumpai : "Kita harus menyelamatkan lingkungan dari krisis sampah plastik karena anak cucu kita harus menikmati bumi seperti apa yang kita nikmati" atau "kita harus mencegah krisis iklim karena ini bencana ekologis yang dapat membawa kita kepada kepunahan masal". Motif semacam ini hanya berdasarkan keuntungan bagi manusia dan kepentingan yang menyertainya. Motif ini begitu jauh dari kepedulian terhadap bumi. Orang-orang yang beralasan seperti itu lebih tepat diberi predikat sebagai pejuang kemanusiaan bukan aktivis lingkungan. Kenapa sangat jarang yang berasalan "Kita harus peduli kepada lingkungan karena kepedulian itu sendiri!".

Tanpa kita sadari kita tidak bisa peduli kepada bumi karena memang biologi nature manusia sebagai organisme adalah makhluk yang egois. Dalam Istilah filosofis disebut "Antroposentris" yang berarti segalanya berpusat kepada manusia. Manusia selama ini memandang bahwa dia makhluk khusus, istimewa dan superior sehingga menempatkan makhluk lainnya di bawah dan alam hanya sebagai pelayan kepentingannya. Kedua yang menjadi alasan kita tidak bisa peduli atau menyelamatkan bumi adalah karena bumi tidak butuh kita alias bumi bukan makhluk hidup yang dapat terancam keberlangsungan. Tanpa adanya manusia pun bumi tidak masalah


Jadi, sebenarnya yang kita perjuangankan dalam berbagai embel-embel peduli lingkungan bukanlah untuk kepentingan bumi melainkan diri kita itu sendiri. Obsesi manusia untuk peduli terhadap alam atau bumi hanyalah gairah manusia untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan di bumi. Akhir-akhir ini manusia semakin dewasa berpikir dan memahami bahwa dia bukanlah makhluk yang terpisah dari ekosistem. Manusia, alam  dan binatang lainnya adalah kesatuan integral dalam entitas kehidupan. Maka dari itu, jika manusia melakukan perbuatan kerusakan kepada ekosistemnya sama dengan ia membunuh tubuhnya dengan cara perlahan.


Penulis : Yusuf Mukib
Penyunting : Irvan Bayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sinergitas Sebagai Upaya Pelestarian Budaya

Harapan kami mulai tercerahkan dengan tersebarnya pamflet yang mengusung tema "Ngobrol Bareng Mas Bupati dengan Pelaku Seni...